Puluhan Siswa di Ponorogo Belajar di Madrasah Gedeg

CERITARELAWAN.id, BADEGAN – Nasib anak-anak di Dusun Watuagung, Dayakan, Badegan, Ponorogo, tak seberuntung teman-temannya di kota. Untuk melanjutkan pendidikan dari SD ke SMP, mereka harus menempuh jarak lumayan jauh. Melalui pegunungan terjal. Akibatnya, banyak orang tua ekonomi rendah minta anaknya membantu bekerja. Atau menikahkankannya setelah lulus SD.

 ‘’Begitulah kondisinya, khususnya di Dusun Watuagung ini,’’ kata Kateno, Kepala Desa setempat, kemarin (19/3).

Dusun Watuagung berbatasan langsung dengan Kecamatan Purwantoro, Wonogiri, Jawa Tengah dan Kecamatan Bandar, Pacitan. Di dusun tersebut hanya ada satu TK Muslimat. Untuk SD terdekat, ada di Dusun Krajan, Desa Watu Bonang, Badegan. Sedangkan SMP, paling dekat di Desa Karangan, Badegan. Atau ke Kecamatan Bandar, Pacitan. ‘’Kira-kira sekitar lima kilometer. Tapi medannya pegunungan dan jurang yang curam,’’ ungkapnya.

Tahun lalu, pemerintah desa setempat mengupayakan pengaspalan jalan dari dusun tersebut hingga pusat pemerintahan desa. Sebelumnya, jalan menuju dusun itu berupa makadam. Banyak orang tua khawatir jika anak mereka pulang pergi sekolah sendirian. Apalagi, anak seusia SMP masih belum menguasai sepeda motor. ‘’Karena itu banyak yang putus sekolah setelah SD,’’ terangnya.

Berbagai upaya dilakukan pemerintah desa setempat untuk menekan angka putus sekolah. Salah satunya mendirikan sekolah setingkat SMP di dusun tersebut. Harapan anak-anak lulusan SD bisa melanjutkan pendidikannya lagi. Orang tua juga tidak khawatir karena jaraknya dekat dengan rumah. Upaya itu terwujud sekitar dua tahun lalu. MTs Sunan Ampel berdiri tahun 2015 lalu. ‘’Sebenarnya kami mengajukannya tahun 2014, tapi baru menerima murid tahun 2015,’’ tutur Kateno.

MTs itu didirikan di atas lahan warga. Gedung untuk kegiatan belajar-mengajar (KBM) juga rumah warga. Bahkan tenaga pengajar pun sebagian melibatkan warga. Lantainya tanah dan dindingnya anyaman bambu alais gedeg. Antara ruang satu dengan lainnya disekat asbes. ‘’Setiap tahun ada sekitar 30 anak kami yang putus sekolah setelah lulus SD. Ini sangat memprihatinkan,’’ ungkapnya.

Sekolah itu berdiri murni untuk memberi pendidikan kepada anak-anak setempat. Setiap tahun, ada sekitar 35 siswa lulusan SDN 3 Watubonang. Kebetulan menjadi SD terbesar dan terpencil di Badegan. Dari lulusan itu, mayoritas tidak melanjutkan ke SMP. Hanya sekitar 5 sampai 10 siswa yang melanjutkan.

Pihak desa akhirnya berinisiatif mendirikan sekolah. Mereka mengajukan proposal ke Kementerian Agama (Kemenag) Ponorogo. Tapi saat itu pihak Kemenang sudah menutup untuk pengajuan proposal pendirian sekolah. ‘’Karena dinilai penting, pihak Kemenang menyarankan agar sementara menginduk dulu pada sekolah yang sudah ada,’’ terang Kateno.

MTs ini tahun 2015 lalu sudah mulai menerima siswa dan beroperasi. Saat itu ada 32 siswa dari Dusun Watuagung, Dayakan dan Dusun Krajan, Watubonang. Sedangkan angkatan kedua, 26 siswa. Juga dari dua dusun tersebut. Total saat ini ada sekitar 58 siswa. Mayoritas anak-anak Dusun Watuagung, Dayakan. Jumlahnya sekitar 70 persen. ‘’Sisanya dari Dusun Krajan, Watubonang,’’ sebutnya.

Sejak awal tahun lalu, tepatnya 23 Januari 2017, izin operasioal sekolah tersebut sudah turun. Jika dilihat dari bangunan fisiknya memang tidak tampak layaknya gedung sekolah. Rumah berukuran sangat sederhana sekitar 6 x 12 meter itu sengaja disulap jadi tempat menimba ilmu anak-anak setempat.

Ruangannya dibagi tiga. Dua ruang untuk kelas dan satu ruang untuk kantor. Untuk penyediaan sarana dan prasarana (sarpras) didapat dari swadaya masyarakat setempat. ‘’Tapi bukan dalam bentuk uang, melainkan diterima sudah barang jadi. Misalnya meja, kursi dan sebagainya,’’ paparnya.

Saat ini masih cukup, tapi tahun depan pihak desa harus berfikir menambah satu ruang lagi. Begitu juga tenaga pengajarnya yang sekitar 15 orang. Semua memang memiliki kepedulian lebih. Sebab, mereka mengajar tanpa bayaran. Ada guru SDN 3 Watubonang, SDN 1 dan 2 Dayakan, serta SDN 1 Pohijo (Sampung). Selain itu juga ada perangkat desa setempat dan warga peduli. ‘’Semua atas dasar keikhlasan. Karena kami belum bisa menggaji,’’ ungkapnya.

Semua kebutuhan siswa mulai seragam hingga biaya pendidikan digratiskan. Bukan untuk bersaing mendapatkan murid dengan sekolah lain, tapi agar anak-anak mau sekolah. Orang tuanya juga tidak keberatan. Itu pun masih cukup sulit mengajak anak-anak untuk bersekolah. (*)

Mereka harus setengah dipaksa agar mau bersekolah. Karena mungkin sudah menjadi kebiasaan atau tradisi warga bahwa setelah lulus SD tidak lagi melanjutkan sekolah. ‘’Memang gratis, tapi kami tetap memperhatikan mutu pendidikannya,’’ jelasnya.

Semua materi pendidikan mengikuti kurikulum yang berlaku. Selain itu juga menguatkan pendidikan agama Islam. Tapi juga tidak bisa sepenuhnya ikut kebijakan pemerintah. Dia mencontohkan penerapan Kurikulum 2013 (K13) atau Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) dan sebagainya. Itu masih jauh dari pemikiran para penggerak pendidikan di desanya. ‘’Bagi kami, mereka mau sekolah saja sudah senang. Itu yang lebih penting,’’ pungkasnya. (tif/sat)

sumber : radarmadiun.co.id

CERITARELAWAN.ID
CERITARELAWAN.ID CERITARELAWAN.ID Portal informasi relawan dan umum, memiliki konten News, Pendidikan, Kesehatan, Sosial, dan Wisata