Apa Itu Hipotermia?


Berita ini muncul kemarin ...
Sabtu 6 April 2019, telah ditemukan oleh team SAR, jenazah seorang pendaki muda belia. Bernama Fatur Rohman, berumur 16 tahun, tepat dibibir puncak gn Sumbing, pada ketinggian 3371 mdpl. Temannya yang 3 orang, semua bisa diselamatkan dari serangan hipotermia yang mematikan.
Hampir sebulan yang lalu, tepatnya 3 maret 2019, di gunung Tampomas, musibah serupa terjadi. Kali ini tidak tanggung, jumlah korbannya 3 orang. Bernama Ferdi 13 tahun, Lucky 13 tahun dan Agip yang tertua berusia baru 15 tahun saja.

Hanya dalam tempo sebulan, 4 orang anak-anak belia berusia belasan tahun ini, harus meregang nyawa, ditempat sunyi jauh diketinggian sana. Dengan ciri ciri yang sama, yaitu disergap oleh ancaman paling mematikan untuk setiap pendaki, berupa serangan hipotermia. Kehilangan panas tubuh yang akut, sampai pada sebuah momen, dimana nyawa tak lagi mampu tersangkut di badan. Mereka semua harus dievakuasi dalam kantung jenazah.

Seharusnya, kita semua prihatin ...
Karena hipotermia umumnya membutuhkan waktu yang cukup panjang, sebelum berujung pada bencana fatal dan kematian. Berbeda dengan kasus dipatuk ular berbisa seperti king kobra contohnya. Frame time nya sangat sempit. Dimana jika telat atau salah dalam penanganan awal dalam menit-menit pertama, bisa berujung pada ke fatalan. Seperti juga kecelakaan tertimpa longsoran batu di tebing, frame-time nya juga bisa sangat pendek, sehingga membutuhkan penanganan ke daruratan yang bersifat segera.

Namun tidak dengan hipotermia. Umumnya memberi kita peluang waktu yang lumayan panjang, sebelum masuk pada kondisi yang paling kritis. Dalam pengertian, jika gejala-gejala awalnya sudah bisa dikenali, maka langkah-langkah pengamanannya bisa segera dilakukan. Sehingga tingkat ke gawat-daruratan bisa dicegah. Baik oleh survivor sendiri, maupun sesama teman dalam team. 

Gejala hipotermia untuk gunung-gunung di wilayah tropis, seperti Indonesia, umumnya terjadi karena tereksposnya tubuh secara langsung pada udara disekelilingnya yang memang dingin. Biasanya karena baju selaku isolator panas, terkena air dan basah, sehingga berubah menjadi konduktor panas. Lalu suhu tubuh terus menerus turun, karena panasnya terhisap oleh udara di sekelilingnya.
Berbeda dengan jenis hipotermia untuk para pendaki gunung-gunung tinggi. Istilah tubuh yang “dingin” umumnya bukan karena ekspose, tapi kekurangan oksigen, sehingga pembakaran makanan dalam sel, guna menghasilkan kalori menjadi terhambat.

Empat orang korban meninggal dalam waktu sebulan, dalam usia yang sangat belia, membuat kita bertanya tanya. Yaitu tidak adanya langkah-langkah pencegahan. Jikapun kata “pembiaran” dianggap terlalu menohok pihak-pihak tertentu, yang seharusnya punya otoritas untuk me “nyortir” para petualang belia ini, tepat di lokasi pos jaga dan pendaftaran. Seperti penjaga karcis di bioskop, jika filmnya mengandung unsur X, maka hanya penonton yang berusia 18+ saja yang boleh masuk. 

Untuk kegiatan di alam terbuka, dengan unsur bahaya yang tinggi. Maka keberadaan pendamping yang berpengalaman menjadi sebuah keharusan. Sebuah perjalanan petualangan dan  pioneering yang tetap menarik minat, namun juga disertai dengan tranfer of knowledge, dan tentu saja konsep safety always come first.

Pengetahuan ini idealnya diberikan disekolah. Seperti yang didapat di sispala, pramuka, pmr, dsb. Sedang untuk umum, bisa juga disalurkan melalui media karang taruna. Dimana anggota sispala dan mapala terjun langsung ke masyarakat di sekitar rumahnya, dan menyebarkan ilmu ini pada sesama generasi muda. Dengan memakai pendekatan kegiatan seperti kemah bersama, camping ground, wisata alam, dll., agar sedikit demi sedikit masyarakat bisa paham, bahwa kegiatan di alam terbuka, bukan hanya butuh tenda dan selimut tebal, namun terlebih lagi ilmunya .

Khusus untuk pemahaman keilmuan, dibawah ini ada sedikit bahan tulisan re-post tentang ancaman bahaya penyakit diketinggian, atau Acute Mountain Sicknes ...

BE SAFE FROM THE HIGH ALTITUDE KILLERS

The Core ...
Sang inti tubuh manusia, ada 3 organ, yaitu otak , jantung dan paru-paru. Apa yang kita sebut sebagai mati klinis, adalah saat ketiganya “not responding”. Alias mati, koit, wafat, is dead ... apapun.

Selain mati klinis, ada juga yang disebut sebagai mati biologis, atau tidak berfungsinya organ-organ vital lainnya . Sehingga menyebabkan komplikasi atau kegagalan organ berganda. Ujungnya bisa mengarah pada mati klinis. Setelah mati klinis, organ-organ vital akan mengalami kerusakan dalam tempo tertentu ( kerusakan biologis ). Beberapa masih bisa diselamatkan untuk operasi pencangkokan, bagi penderita sakit yang membutuhkannya.

Mendaki gunung, tak urung dihadapkan pada kondisi dan situasi the core diatas. Dimana ketiga organ tadi saling bergantung erat. Apa yang terjadi pada gejala acute mountain sickness ( AMS ) yang merupakan pembunuh nomor satu setiap pendaki, sesungguhnya dimulai dengan gangguan yang terjadi pada the core, pada sang inti.

Variabel yang paling signifikan adalah suhu udara dan kepadatan oksigen. Hal ini menjadi pasangan sempurna saat seseorang mendaki menuju ketinggian. Dimana gejala High Altitude Pulmonary Edema ( HAPE ) dan High Altitude Cerebral Edema ( HACE ) menjadi layaknya harimau yang siap menerkam mangsanya. Saat kita lengah, bersikap abai, sok jago, merasa hebat, ... maka sang HAPE dan HACE sering terpaksa ditukar dengan nyawa.

Syahdan dilakukan percobaan yang melibatkan beberapa intitusi terkait. Berlokasi di gunung Denali ( Mc Kinley ) Alaska, sebagai salah satu tempat terdingin di muka bumi. Tak kurang NASA mengirim pelatih astronotnya untuk mendaki Denali, bersama sepasang suami-istri yang merupakan pendaki kawakan dikawasan itu. Sedang alat untuk memeriksa The Core, berupa pel kapsul elektronik, yang ditelan, dan setiap saat memeriksa suhu The core, kemudian mengirimkan datanya pada receiver diluar untuk dicatat dan dibandingkan.

Variabel pertama yaitu ketinggian.
Pada ketinggian 2400 m dpl, tekanan udara hanya sekitar 80% dari normal. Pada ketinggian 5000 m dpl, turun menjadi sekitar 65% saja, atau 2/3 dari normal. Diatas 8000 m dpl, kita sebut sebagai dead zone, sebuah daerah kematian, karena hanya tinggal 20%, atau 1/5 saja dari normal. Oksigen akan dipasok oleh paru-paru, dengan tenaga pompa dari denyut jantung, untuk dialirkan terutama ke otak, sebagai pusat kontrol.

Variabel kedua yaitu suhu.
Dalam hal ini suhu diluar tentu sangat berpengaruh, salah satu hal mengapa Denali dipilih untuk penelitian karena suhunya yang ekstrim dingin. Udah deket kutub utara, tambah di gunung, jadi pasti super brrrrr ...dah.
Namun suhu yang diukur kali ini adalah suhu internal dalam the core, terutama di bagian otak. Tubuh menjadi hangat karena adanya pembakaran dalam sel. Bahan bakarnya berupa zat makanan dan oksigen yang dipasok paru-paru. Saat oksigen dalam udara berkurang, maka pasokan oksigen juga berkurang, sehingga proses pendinginan juga dimulai.

The core yang normal bersuhu sekitar 37C. Saat pasokan udara ke otak berkurang, terjadi pendinginan. Ketika suhu otak mencapai 35C, maka kita mulai melihat gejala-gejala hypotermia. Seperti pusing, mual, pengen muntah, hilang selera makan, dan sulit tidur. Langkah-langkah melakukan aklitimasi selama selang beberapa waktu menjadi keharusan mutlak.

Hypotermia, menjadi musuh utama pada gunung berketinggian dibawah 4000 m dpl. Seringkali adanya perasaan jumawa, bahwa gunung itu bisa didaki dengan one single strike, sekali jalan langsung menuju puncak. Akibatnya usaha aklimatisasi terabaikan, tetap mendaki dengan kesadaran yang tak lagi normal. Usaha untuk menghangatkan tubuh dengan cara tidur, atau meminum alkohol, hanya punya satu arti ... siapkan kantung mayat.

Semakin keatas, udara semakin menipis. Paru-paru harus memompa semakin banyak oksigen ke otak, karena jika tidak maka otak akan mendingin terus. Jika dipaksa maka paru-paru akan jebol. Gelembung alveoli dalam paru paru yang bertugas untuk menangkap oksigen, menjadi kelelahan, dan mulai mengeluarkan cairan. Paru-paru mulai terendam oleh cairan, dan semakin sulit untuk sekedar bernapas sekalipun, apalagi bicara atau berjalan. Di titik ini kita mulai diserang oleh penyakit High Altitude Pulmonary Edema ( HAPE ).

Saat kalori tak lagi mencukupi, sang kehidupan menjaga agar tak mati klinis, sehingga panas dibagikan untuk the core saja. Yaitu otak, jantung dan paru-paru. Akibatnya bagian tubuh yang paling jauh ( The extremeties ) akan dikorban . Tak mendapat jatah panas, seraya dibiarkan mati dalam beku ( mati biologis ), yang kita sebut sebagai frost bite. Jika sudah terlampau fatal, biasanya di amputasi, agar pembusukan tidak menyebar pada jaringan tubuh disekitarnya.

Otak adalah salah satu yang paling vital. Pasokan oksigen ke otak mutlak adanya. Jantung harus memompa oksigen, yang semakin jarang keberadaannya ketika ketinggian naik. Tekanan darah membuat urat darah kapiler di otak membesar. Pada tingkat tertentu, akan mengalami kelelahan, dan mulai mengeluarkan cairan. Pada titik ini, otak mulai dipenuhi oleh cairan, dan gejalanya kita sebut sebagai High Altitide Cerebral Edema ( HACE ).

Salah satu penyeimbang suhu dalam tubuh adalah air. Seperti air dalam radiator mobil. Pergerakan terus menerus, membuat air dikeluarkan dalam bentuk keringat. Jika pasokan air tak ditambah, maka kita akan mengalami dehidrasi dan over-heat, atau hypertermia, sekalipun udara diluar membeku. Suhu the core naik mencapai 39C, jadi kaya orang meriang atau shock. Salah dalam penanganan, kondisi ini bisa berubah drastis, dari hyper menjadi hypotermia, karena defisit dalam pasokan air dalam tubuh diatas.

So brow ....
Bermain main dengan gunung, layaknya bermain dengan ketinggian. Semakin tinggi anda naik, semakin tinggi pula anda bisa jatuh. Hanya dengan memakai 2 variabel saja, yaitu suhu dan tekanan udara, resikonya bukan hanya celaka, bahkan nyawa. Padahal ada sekian banyak variabel lainnya, baik yang bersifat subjektif danger ( internal individual ), maupun objektif danger ( eksternal alam ), yang semuanya berbicara tentang hukum-hukum ketidak-pastian belaka.

Tak usah takut dicap tidak gaya, tidak hebat, tidak jagoan, saat kita harus duduk sejenak. Saat kita harus tinggal selang beberapa waktu, sekian jam, sekian hari, untuk aklimatisasi tubuh. Mendaki gunung bukanlah balapan motogp.

Tak usah takut dicap tidak sekuat samson, ketika banyak minum air. Tak usah takut di cap reyot, saat berhenti ditengah jalan, dan menghirup napas dalam-dalam, untuk membuang kunang-kunang yang berputar diatas kepala.

Tak usah takut dicap penakut, ketika semua barang dan peralatan, termasuk obat-obat kita cek ulang. Karena diatas gunung sana, dijamin tak bakalan ada puskesmas untuk pengobatan gawat darurat.

Tak usah takut dicap kuper, enggak gaul, ketika artikel ini dibaca. Ketika buku-buku tentang P3K tentang PPGD, tentang manajemen kesehatan dan perjalanan, diteliti dan dipahami isinya.

Ketimbang kelak harus diganti oleh satu satunya 
Selembar nyawa ...

Redaksi : CERITARELAWAN.com
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url