Sejarah Tradisi Kupatan di Durenan Trenggalek: Dari Wali Songo hingga Mbah Mesir
Tradisi Kupatan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa pada umumnya
sebagai ekspresi untuk melestarikan estafet dakwah yang telah dilakukan oleh
para ulama terdahulu dalam menyebarkan Islam di Jawa. Karena tidak mungkin
Islam bisa disebarluaskan tanpa menggunakan budaya lokal. Seiring dengan
perkembangan zaman, tradisi Kupatan semakin meluas sampai ke beberapa wilayah
di Jawa Timur. Salah satunya di kecamatan Durenan, kabupaten Trenggalek.
Abdul Masyir atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Mesir
adalah orang pertama yang merintis Kupatan di Durenan. Penyebutan nama Mbah
Mesir dikarenakan lidah orang Jawa yang selalu melafalkan huruf-huruf asli
(Arab) dengan vokal lidah Jawa, sehingga nama Abdul Masyir berubah menjadi Mbah
Mesir.
Setelah Mbah Mesir wafat, tradisi ini tetap dihidupkan oleh tokoh-tokoh penerusnya, antara lain: KH. Imam Mahyin, KH. Ahmad Mu’in dan KH. Abdul Fattah Mu’in. Kini, tradisi kupatan terus dipraktikkan oleh masyarakat Durenan secara alami, tanpa adanya intruksi dari seorang kiai. Saat ini, tradisi Kupatan tidak hanya dipraktikkan oleh masyarakat Durenan, tetapi sudah meluas sampai ke berbagai wilayah di Trenggalek.
Mbah Mesir adalah putra dari Kiai Yahudo, Slorok, Pacitan.
Beliau masih keturunan dari Mangkubuwono III, yaitu salah satu guru Pangeran
Diponegoro. Mbah Mesir merupakan kiai yang sangat terkenal dan memiliki
kedekatan dengan Bupati Trenggalek saat itu. Mbah Mesir juga menjabat sebagai
pejabat semacam MUI (baca: naib) Trenggalek, sehingga beliau juga menjadi
rujukan berbagai permasalahan agama.
Karena keakrabannya dengan bupati, beliau selalu diundang ke
pendopo Trenggalek. Undangan kunjungan tersebut selalu pada hari raya ke dua
sampai ke lima. Namun, karena Mbah Mesir selalu mengistikamahkan berpuasa
Syawal selama enam hari berturut-turut, beliau tidak memakan makanan yang
dihidangkan oleh pihak pendopo.
Pada mulanya, tradisi kupatan akan diselenggarakan pada hari
pertama Idul Fitri atas usulan beberapa keluarga Mbah Mesir. Namun, karena Mbah
Mesir selalu istikamah dalam puasa Syawal tersebut, maka diputuskan kupatan
dilaksanakan pada tanggal 8 Syawal, setelah Mbah Mesir menyelesaikan puasa
sunnahnya.
Setelah Mbah Mesir menyelesaikan
puasa sunnah Syawal, biasanya beliau membuat hidangan berupa ketupat dan
sayur-sayuran untuk disajikan kepada para santri dan warga sekitar yang
bersilaturahim ke rumahnya. Tak jarang sebelum memakan hidangan ketupat dan
sayur-sayuran, terlebih dahulu dilakukan doa bersama seperti slametan.
Tradisi ini dilatarbelakangi oleh
keresahan Mbah Mesir yang melihat beberapa masyarakat Durenan tidak melakukan
puasa sunnah bulan Syawal setelah merayakan hari Raya Idul Fitri. Padahal,
puasa bulan Syawal pahalanya sangat banyak dan bisa menghapus dosa-dosa satu
tahun yang lalu dan yang akan datang. Melihat permasalahan ini, Mbah Mesir
membuat gagasan baru dengan memadukan budaya dan syariat, yaitu puasa bulan
Syawal selama 6 hari dan dilanjutkan dengan slametan kupat (tasyakuran
ketupat) di pesantrenya.
Slametaan kupat ini
kemudian menyebar ke berbagai masjid dan surau, bahkan sampai ke desa-desa di
sekitar Durenan. Di samping itu, menurut beberapa informasi, tradisi tersebut
tidak hanya dilakukan oleh kalangan Nahdlatul Ulama’ tetapi juga oleh beberapa
kalangan Muhammadiyah, meskipun media perayaannya berbeda.
Ada empat hal yang ingin diajarkan oleh Mbah Mesir kepada
masyarakat Durenan dan Trenggalek melalui tradisi ini.
Pertama, kesunahan
melaksanakan puasa Syawal, sebagaimana hadis Nabi saw: “Barang siapa yang berpuasa Ramadan kemudian diikuti dengan puasa
enam hari pada bulan Syawwal, maka ia seolah-olah puasa setahun.”
Kedua, anjuran agar
selalu menyambung tali silaturahim dan silaturahmi, sebagaimana hadis Nabi
saw: “Siapapun yang ingin diluaskan pintu rizki untuknya dan
dipanjangkan ajalnya, hendaknya ia menyambung tali silaturrahmi.”
Ketiga, anjuran
agar selalu bersedekah. Masyarakat Durenan meyakini bahwa tradisi kupatan akan
mendatangkan berkah bagi kehidupan mereka. Melalui tradisi inilah, mereka
memberikan sedekah harta berupa makanan ketupat kepada siapa saja yang bertamu.
Keutamaan sedekah ini berdasarkan
hadis Nabi saw: “Tidak ada hari di mana hamba-hamba Allah berada di waktu pagi melainkan ada dua
malaikat yang turun, dimana salah satu di antara keduanya berdo’a: ‘Wahai
Allah, berikanlah ganti kepada orang yang suka berinfaq’. Dan malaikat lain
berdo’a: ‘Wahai Allah, binasakanlah orang yang kikir’.”
Keempat, anjuran agar memuliakan dan menghormati tamu yang datang. Masyarakat Durenan sangat antusias dalam menyambut dan memuliakan para tamu yang datang ke rumahnya saat tradisi kupatan. Siapapun yang bertamu pasti akan dipersilahkan untuk menyantap kupat. Hal ini berdasarkan hadis Nabi saw: “Siapapun yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” Wallahua’lam.
Sumber : nutrenggalek.or.id