Membangun Pendidikan Transformatif Berbasis Keadilan Gender dalam Keluarga

Sumber Gambar http://sendwestafrica.org

CERITARELAWAN.ID. Ponorogo - Meskipun sudah banyak diserukan kesadaran tentang kesetaraan relasi gender, tetap saja kekerasan berbasis gender masih banyak terjadi. Bahkan, akhir-akhir ini kesadaran akan kesetaraan dan keadilan gender yang sudah dibangun hampir dua dasawarsa kembali meredup seiring dengan perubahan cara pandang sebuah komunitas yang menyerukan secara masif- melalui medsos- untuk kembali kepada Alquran dan Alhadis dengan menempatkan perempuan dan anak-anak untuk hidup seperti di zaman Rasulullah saw. Sayangnya, seruan itu dimaknai tidak dengan bersifat konteks akan tapi sangat bersifat tekstualis. Kondisi ini tentu tidak menguntungkan bagi perempuan Indonesia karena berimplikasi kepada dampak sosial yang tidak ringan, khususnya transformasi sosial berbasis gender.

Hingga hari ini tidak sedikit yang berfikir bahwa kekerasan berbasis gender selalu ditujukan pada laki-laki yang memandang perempuan sebagai objek, padahal kekerasan berbasis gender ini juga bisa terjadi pada perempuan yang melakukan kekerasan atas dasar ketimpangan relasi gender baik terhadap laki-laki, atau terhadap sesama perempuan dan juga terhadap sesama laki-laki.

Pendidikan Transformatif Gender
Upaya membangun kesadaran relasi berbasis gender dapat ditempuh dengan beragam cara. Salah satunya dengan menggunakan pendekatan transformatif. Sebuah upaya membangun kesadaran yang lebih baik dalam relasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan dan keadilan.

Transformasi berasal dari kata bahasa Inggris transform yang artinya mengendalikan suatu bentuk dari satu bentuk ke bentuk yang lain sementara menurut kamus bahasa Indonesia perubahan yang terjadi dari keadaan sebelumnya menjadi baru dan lebih baik. Transformasi mempunyai dua makna perubahan yaitu perubahan struktur sosial sedang di sisi lain mengandung makna proses perubahan sosial. Artinya ketika dimaknai sebagai proses perubahan sosial, kita meniscayakan perubuhan-perubahan yang dapat terjadi sebagai suatu kebudayaan yang dinamis karena pola pikir dan lingkungan yang berbeda, yang berkonsekuensi pada berubahnya cara pandang dalam kehidupan meskipun telah berulang kali terjadi akan tetapi akan menimbulkan makna yang berbeda dari makna sebelumnya. Kata transformative learning bila didasarkan pada bentuk kata kerja “to transform” berarti mengubah bentuk atau menjelmakan.

Daszko, Macur & Sheinberg dalam Moedzakir, dalam kaitan ini menyatakan bahwa mengubah disini bisa merupakan suatu upaya mengubah sesuatu hal dari bentuk, penampilan, susunan, kondisi, atau karakter asalnya ke bentuk, penampilan, susunan, kondisi, atau karakter yang lain suatu aspek psikologis tertentu. Ditegaskannya lebih lanjut bahwa semua transformasi itu perubahan, tetapi tidak semua perubahan itu transformasi. Dengan demikian, pembelajaran transformatif dapat diartikan sebagai suatu pembelajaran yang diselenggarakan untuk menghasilkan perubahan aspek psikologis tertentu pada diri peserta didik, suatu perubahan kesadaran yang bisa berskala luas dan mendasar, hingga ke tataran mindset.

Pola pendidikan transformatif berbasis gender akan sangat strategis diterapkan dalam membangun, memperkuat kesadaran tentang kesetaraan dan keadilan gender dalam memaknai kembali hadis-hadis yang ditengarai bias gender, khususnya dalam pendidikan keluarga. Untuk itu pembahasan yang difokuskan disini adalah cara pandang yang kritis terhadap gender sebagai hasil kostruksi budaya dan agama yang sudah melekat berabad-abad untuk perubahan mindset, perspektif dan psikologis yang baru yang berkeadilan gender. Usaha ini tidak mudah, karena perubahan perspektif, mindset membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Pemahaman Keagamaan berbasis Kesadaran Gender dalam Keluarga
Ketimpangan gender yang lestari berpangkal dari keluarga. Keberadaanya diwariskan secara turun temurun atas legitimasi agama dan budaya. Sebagai negara yang mayoritas muslim, rujukan-rujukan keagamaan adalah nash atau teks Alquran dan Hadis, pendapat ulama dalam berbagai kitab kuning dan fatwa ulama. Sayangnya isi hadis dan penafsiran ayat dirasa masih melangit ketika dihadapkan pada realita kekinian. Berikutnya adalah ajaran orang tua yang memberi sumbangsih besar dalam menentukan pembentukan perspektif adil gender bagi anak.

Jika dipetakan ketimpangan akibat bias gender ada dalam tiga domain, yakni: a) Sosial dan Hukum. Meliputi kepemimpinan perempuan, imam perempuan, pernikahan dini, kesehatan reproduksi, seksualitas perempuan, kawin sirri, nusyuz, mutilasi genital (khitan), trafficking, transgender, LGBTI, pornografi, kematian ibu, perkosaan, eksploitasi. b) Ekonomi. Misalnya terkait diskriminasi di tempat kerja, hak cuti hamil, upah buruh rendah, pelecehan seksual. c) Pendidikan. Misalnya pembahasan tentang Pendidikan yang tidak gender-friendly bagi perempuan, akses yang kecil terhadap pendidikan, putus sekolah, kurikulum yang bias gender, buku teks yang bias gender, dan sebagainya.

Dalam kajian keislaman yang terkait dengan fiqh dan munakahat banyak hadis dan ayat Alquran ditafsiri secara bias oleh mushannif-nya. Ini dilihat dalam kurikulum-kurikulum pesantren yang berbasis salaf dengan rujukan kitab kuning. Pemaknaan kritis terhadap keduanya menjadi keniscayaan dengan meng- i’tiqad-kan bahwa hasil penafsiran itu selalu berkorelasi dengan waktu, tempat dan adat istiadat mushannif itu berada. Berubahnya waktu akan diikuti oleh perubahan-perubahan sosial yang otomatis akan membawa perubahan cara pandang sekaligus keputusan hukum sebagaimana yang diungkap oleh Ibnu Qayyim al Jawzy: Taghayyur al-ahkam bi at Taghayyur al Azminah wa al-Amkinah. Cara pandang seperti ini akan meniscayakan kitab kuning yang dipandang sakral menjadi catatan kritis sekaligus menyakinkan kitab kuning sebagai rujukan yang mampu memberi warna sesuai realitas zaman.

Dalam memaknai hadis ataupun ayat Alquran, yang pertama yang harus diperhatikan adalah pemaknaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai universal kemanusiaan antara lain seperti keadilan. Keadilan selalu menjadi alasan untuk menafsirkan isu gender sebagai ketimpangan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu perlu penafsiran yang berwawasan gender. Maksud dari penafsiran berwawasan gender adalah penafsiran yang memberikan perhatian dan pemihakan terhadap pemberdayaan kelompok jenis kelamin yang tertindas, baik dari kaum laki-laki maupun perempuan. Di Indonesia, kaum yang banyak mengalami penindasan dan kekerasan adalah kaum perempuan. Karenanya konteks gender di Indonesia umumnya memperjuangkan dan membela hak-hak perempuan. Apabila suatu ketika yang lemah dan tertindas dari kaum laki-laki, maka konotasi tafsir berwawasan gender tentu saja membela hak-hak kaum laki- laki

Menjadi tanggung jawab bersama untuk menerapkan pola asuh dan pendidikan yang menerapkan prinsip al-‘adalah dan al-musawah, dimulai dari lini yang paling terkecil yaitu keluarga, lingkungan, sekolah hingga masyarakat. Kuatnya cengkraman faham partiarkhi yang dikonstruksi dalam budaya dan ajaran agama dalam jangka waktu yang lama menjadi alasan kuat untuk melakukan transformasi pendidikan gender dalam pola pendidikan keluarga. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan sebagai ikhtiar mewujudkan itu, antara lain:

a. Kesadaran konstruksi Gender
Mewujudkan pendidikan adil gender dalam keluarga tidak mudah dilakukan. Ini disebabkan keyakinan yang sudah menjadi mindset. Kesadaran akan adanya diskriminatif, subordinatif, marginal, streotype terhadap perempuan sebagai bentuk ketimpangan bias gender harus terus ditumbuhkan, karena tidak jarang perempuan tidak mengerti, menganggap sebagai kodrat hingga menikmati kondisi tersebut di atas.

b. Eksistensi Keutamaan Perempuan
1). Hadis Surga

(الجنة تحت أقدام الأمهات (رواه أحمد والنسائي وابن ماجه والحاكم عن معاوية بن جاهمة السلمي

Artinya : “Surga itu di bawah telapak kaki ibu.” (HR. Ahmad, Nasa’I, Ibnu Majah, Hakim dari Mu’awiyah bin Jahimah al salamiy).

Tersirat kuat dalam hadis ini, perempuan mempunyai kedudukan tinggi yang paling mulia nilainya. Secara psikologi dapat mendorong pengakuan diri yang bersifat dogmatis. Meski Islam secara sharih menyatakan tingginya kedudukan perempuan, sebagaimana yang diungkap Faqih abdul Qodir, banyak fakta yang menunjukan praktek-praktek merendahkan martabat kemanusiaan perempuan dengan menggunakan legitimasi interpretasi budaya dan agama, seperti honor killing yang terjadi di belahan dunia muslim terutama di Asia Tengah dimana perempuan dibunuh dengan alasan mencemarkan nama baik keluarga

2). Pengakuan Nabi terhadap kedudukan perempuan, seperti hadis berikut:

عن عائشه قالت: انماالنساء شقائق الرجال

Artinya: “Sesungguhnya perempuan itu adalah saudara kandung (mitra sejajar) laki-laki”.
Hadis ini menyatakan secara tegas laki-laki dan perempuan adalah setara dan sederajat.

3).

                                                                               الأم مدرسة الأولى

Artinya : “Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya.”

Oleh karenanya seorang ibu dituntut untuk cerdas agar mampu mengantarkan anak-anaknya menjadi orang-orang sukses dunia dan akhirat. Bagaimana mungkin itu dapat terwujud jika ibu tidak pintar. Intinya pendidikan sangat menentukan bagi perempuan dalam mewariskan generasi cerdas, kuat dan sehat. Sebenarnya banyak hadis mensiratkan dorongan pendidikan untuk perempuan yang setara dengan laki-laki, dengan tidak membedakan jenis kelamin. Kenyataan ini secara historis sudah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad ketika Nabi membuat kebijakan tebusan tawanan perang Badar diganti dengan mengajarkan baca-tulis 10 orang di Madinah. Siti Khafsah satu-satunya istri Nabi yang pertama diminta Nabi untuk belajar baca- tulis pada masa itu. Sementara istri nabi yang lain seperti Siti Aisyah dan Umi Salamah hanya bisa membaca tapi tidak menguasai betul tulis indah sebagaimana Siti Khafsah. Dalam catatan sejarah, perempuan-perempuan yang pandai tulis baca, yaitu:
1. Hafsah, Istri Nabi saw.
2. Ummi Kalsum Binti Uqbah
3. Aisyah Binti Sa’d.
4. As-Syifak binti Abdullah Al-Adawiyah
5. Karimah binti Al-Miqdad

Kebijakan Nabi yang melibatkan perempuan dalam partisipasi baca-tulis adalah gebrakan yang mengentaskan perempuan dalam peran publik. Konteks Aisyah sebagai guru Hadis, Sayidah Nafisah sebagai guru Imam Syafii adalah contoh-contoh realitas yang tak terbantahkan bahwa perempuan mampu tampil di depan publik. Kecerdasan keduanya diakui ulama-ulama besar pada zamannya. Qasim seorang ahli fiqh terkemuka Madinah menyatakan: “Aisyah memberikan fatwa secara independen pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, Usman dan seterusnya hingga akhir hayatnya. Jadi meskipun Aisyah perempuan, tapi kapasitas keilmuannya tidak kalah dari sahabat rasul yang pria”. Urwah bin Zubair juga berkata: “Aku tidak melihat seorang sahabat yang lebih mengetahui tentang ilmu kedokteran, syair, dan fiqh dari pada ‘Aisyah”. Rasulullah sendiri juga bersabda: “Ambillah sebagian agamamu dari Humairah (perempuan yang putih kemerah-merahan) ini (‘Aisyah)”.

Jumlah hadis yang diriwayatkan ‘Aisyah sebanyak 2.210 hadis, Imam Al-Bukhari meriwayatkan darinya sebanyak 54 hadis dan Muslim meriwayatkan sebanyak 68 hadis. Dia banyak meriwayatkan hadis dari para sahabat seperti dari bapaknya sendiri Abu Bakar, Umar, Sa’ad bin Abi Waqqash, Usaidi bin Khudlair, dan lain-lain. Demikian juga banyak di kalangan sahabat dan tabi’in yang mengambil hadis dari padanya, di antaranya dari kalangan sahabat perempuan adalah Ahafiah binti Syaibah dan di kalangan tabi’in adalah Aisyah binti Thalhah, Amrah binti Abdurrahman, dan Hafsah binti Sirin. Ia meninggal pada tahun 57 H / 668 M pada bulan Ramadhan sesudah melakukan shalat witir.

Fonemena ini terjadi semata karena campur tangan Nabi merubah kebiasaan di tengah hegemoni patriakhi masyarakat Arab kala itu. Beberapa hadis-hadis ini memberi spirit kepada semua perempuan tentang harkat kemulian perempuan yang direspon Islam, dan pada gilirannya menjadi landasan membangun kesadaran dan keadilan gender.

Membangun Pendidikan Adil Gender dalam Keluarga

Membangun pendidikan adil gender dalam keluarga yang pertama melalui keteladanan. Dengan tidak membedakan sikap, kata dan perilaku yang terkait dengan jenis kelamin, seperti baju anak perempuan harus pink dan anak laki-laki harus biru, termasuk permainan boneka dan mobil-mobilan. Berikutnya dalam hal keterampilan, kualitas sekolah dan jenjang yang lebih tinggi dalam pendidikan yang memprioritaskan laki-laki dengan alasan kelak akan menjadi penanggung jawab anak dan istri. Kondisi-kondisi ini jika terus berlangsung akan melestarikan bias gender dalam keluarga.

Pemaknaan makna teks keagamaan dalam hal ini hadis dan ayat Alquran hendaknya tidak luput dalam perhatian. Karena pendidikan keagamaan yang dibangun di Indonesia sebagian besar ada di pesantren, majlis taklim, pendidikan keagamaan non formal dan formal, dimana sebagian rujukannya adalah Alquran dan Hadis. Untuk itu kekritisan orang tua harus bermain di dalamnya dengan melibatkan kontesks sosial, makna substantif, analisa kritis dengan pendekatan transformatif gender. Menurut Nasr Hamid Abu Zayd karakter utama dari peradaban Islam adalah orientasi pada teks. Teks tidak hanya menjadi rujukan nilai dan rumusan ’welstanchaung’ umat Islam, tetapi juga menjadi bahan dasar dari perkembangan pemikiran, peradaban dan disiplin-disiplin ilmu. Sekalipun demikian, bukan teks yang menciptakan peradaban, tetapi interaksi umat terhadap teks yang berupa interpretasi-interpretasi yang menggerakkan dan menciptakan peradaban. Dalam interaksi ini, ada stagnasi resistensi, inovasi juga negosiasi-negosiasi makna yang muncul dan berkembang dalam tradisi kesarjanaan Islam.

 Sebagai hasil pemikiran yang bersentuhan langsung dengan realitas, fiqh adalah salah satu bentuk interpretasi yang paling dinamis dalam merespon persoalan-persoalan zaman. Hasil pemikiran fiqh yang selalu berbeda-beda adalah bukti adanya tuntutan realitas, termasuk masalah-masalah perempuan di dalamnya. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan zaman dan arus globalisasi menuntut adanya reinterpretasi ulang hadis-hadis yang terkait dengan relasi dari sisi hak dan keadilan gender, dimana ruang publik sudah tidak lagi didominasi laki-laki, tetapi menjadi arena bersama untuk aktifitas pendidikan, sosial dan politik.

Hadis tentang pengakuan eksistensi kemulian perempuan dan penghormatan kerja-kerja perempuan hendaknya terus didengungkan, karena hadis-hadis semacam ini kalah popular dibanding hadis-hadis poligami dan ketaatan atau hadis misoginis lainnya. Hadis-hadis itu antara lain :

Dari Aisyah ra., berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik orang di antara kalian adalah yang terbaik perilakunya terhadap keluarganya, dan aku adalah yang terbaik di antara kalian dalam memperlakukan keluargaku.” (Sunan Turmudzi, no hadis 4269 )

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم
.خلقا وخياركم خياركم لنسائهم

Dari Abu Hurairah ra., berkata, Rasulullah bersabda: “Keimanan yang paling sempurna di antara orang-orang beriman adalah dia yang paling baik akhlaknya, dan yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik perilaku terhadap istrinya.” ( Musnad Ahmad, no hadis: 10247)

Ikhtiar dalam Pemaknaan Teks yang Adil Gender
Bentuk ikhtiar dalam memecahkan solusi kebuntuan ketika menemukan ruang anomali dalam tataran teks dan realita adalah mencari metode dan pendekatan agar menemukan titik temu. Pendekatan-pendekatan dan metode tersebut akan membantu pendidik untuk menemukan makna-makna baru yang berkeadilan dengan tetap menjunjung nilai-nilai keuniversalan manusia, seperti:

A. Kembali Konsep Tauhid
Sudah saatnya membaca ulang kembali penafsiran Alquran dan hadis-hadis jika menemui anomali antara teks dan realitas. Salah satu caranya dengan ajaran Tauhid. Ketika ketauhidan dibuhulkan dalam hati berarti ada dua esensi utama, yaitu pengakuan atas keesaan Allah, dan pernyataan atas kesetaraan manusia di hadapan-Nya. Tidak ada ketaatan dan ketinggian kecuali Allah sehingga tidak lagi ada pengakuan superior berdasar jenis kelamin, kedudukan maupun jabatan.

Prinsip ketauhidan telah dijelaskan dalam Alquran, Q.S al Hujurat: 13 sebagaimana dalam surat al-Hujarat ayat 13: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku- suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

B. Hermeneutika sebagai Alternatif
Hermeneutika adalah sebuah cara untuk menafsirkan simbol berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks untuk dicari arti dan maknanya untuk itu metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang , Tugas pokok hermeneutik menurut Wilhelm Dilthey adalah bagaimana menafsirkan sebuah teks klasik atas realitas sosial di masa lampau yang asing sama sekali agar menjadi milik orang yang hidup di masa, tempat dan suasana yang berbeda. Oleh karena itu hermeneutik selalu bersifat triadik, menyangkut tiga subjek yang saling berhubungan. Tiga subjek yang dimaksud adalah: the word of the text (dunia teks), the word of the author (dunia pengarang), the word of the reader (dunia pembaca)

Ini sangat membantu menerjemahkan Hadis dan ayat Quran dengan kesadaran tentang kesetaraan dan keadilan gender, karena teks tidak muncul dalam ruang yang hampa, dan teks tidak mampu menggambarkan peristiwa yang sebenarnya. Di dalamnya ada intonasi, ekspresi., maka mau tidak mau harus melibatkan konteks.

C. Analisa Kritis Dan Maqashid Syariah
Analisa kritis dalam pembacaan ulang hadis dan ayat Quran yang terkait dengan kedudukan perempuan adalah dengan melibatkan asbabul Wurud dan asbabun nuzul dari keduanya. Dari sini akan muncul adat istiadat, semantik bahasa, situasi politik, dan strata masyarakat yang ada. Sementara maqashid syariah adalah tujuan syariat itu selalu terkait dengan lima prinsip dasar kemanusiaan: Hifdzun Nafs, Hifdzul Maal, Hifdzun Nasl, Hifdz Ad-din dan Hifdz al Aql. Ini bisa dijadikan pedoman untuk dijadikan rujukan ketika teks dan realita dalam sisi makna teks terjadi kontradiksi

D. Pendekatan Mubadalah
Mubadalah secara bahasa adalah pemahaman kesalingan atau perspektif timbal balik. Dalam bahasa Inggris dikatakan sebagai reciprocity atau bahasa Arab muqabalah bil mitsl. Secara definisi mubadalah berarti prinsip Islam mengenai kesalingan dan kerjasama antara laki-laki dan perempuan dalam melaksanakan peran-peran mereka di ranah domestik atau publik, berdasar pada kesederajatan manusia antara mereka, keadilan serta kemaslahatan bagi keduanya, sehingga yang satu tidak menghegemoni atas yang lainnya, melainkan bekerjasama dan saling tolong menolong.

Pemaknaan mubadalah dapat membantu pemahaman bias gender dalam hadis dan ayat Alquran. Contohnya hadis ini:

أيما امرأة خرجت من بيت زوجها بدون اذنه لعنتها الملائكة حتى ترجع

“Barang siapa yang keluar dari rumah suami tanpa izin, maka malaikat akan melaknatinya sampai ia kembali.”

Terkesan bias jika ditilik dalam sisi pemaknaan teks. Tetapi ketika metode mubadalah dipakai maka, suami pun mendapatkan konsekuensi sebagaimana yang didapatkan istri, karena perintah kebaikan hakikatnya ditunjukan kepada suami dan istri.

Empat metode tersebut di atas dapat dijadikan pisau untuk menganalisis ayat Alquran dan hadis yang terkesan diskriminatif, mengabaikan satu pihak dalam relasi mu’asyarah atau timpang. Pembacaan yang melibatkan metode tersebut dapat mewujudkan pendidikan keluarga yang transformatif gender dalam mewujudkan keadilan dan kesetaraan, sehingga ke depannya hidup menjadi harmonis, bahagia fi ad darain
Wallahu A’lam bi as-Shawab. {}


Sumber Dr. Hj. Afwah Mumtazah swararahima
Next Post Previous Post
1 Comments
  • kokorobby
    kokorobby 07/11/22, 11.17

    Halo, terima kasih sudah berbagi informasi yang bermanfaat dan menambah wawasan
    Kunjungi juga website kami di walisongo.ac.id

Add Comment
comment url